Rintik hujan terdengar merdu, turun secara pelan berlahan. Dingin hari menusuk sampai tulang rusuk, serasa tubuh mungil ini ingin dipeluk. Jalan raya tampak banyak genangan air bekas hujan lebat tadi pagi. Harus siap siaga dan waspada agar seragam baru ini tak terkena cipratan air kotor. Memang, seragam baru yang membalut tubuh ini, yang baru mendaftar di SMA ini pada Juni lalu, kira kira 4 bulan yang lalu dari detik ini.
Pandanganku tetap terfokus pada jalan,
menjaga konsentrasi serta hati-hati. Polisi yang sejak tadi sibuk meniup
peluitnya itu sentak membuyarkan lamunanku. Jalanan macet semacet macetnya,
entah mengapa banyaknya kendaraan yang ingin melintasi jalan ini, padahal
disekitar sini tidak ada perkantoran. Masyarakat disini sungguh aneh, tak sadar
jika kota ini terlalu kecil untuk menampung ribuan kendaraan setiap harinya.
Beberapa menit telah berlalu, gerbang
sekolah tampak dari kejauhan. Diparkiran tak seperti biasanya, lebih banyak
mobil yang kulihat saat ini. Saat di parkiran, kuperhatikan yang ada
disekitarku. Sekolah tampak sepi, beberapa senior lalu lalang didepanku, sibuk
dengan urusannya masing-masing. Ada yang ke kantin, ada yang ke toilet, ke
kelasnya, atau ketempat yang ingin mereka tuju, itu sih urusan mereka. Aku tak
peduli. Yang jelas saat ini aku ingin cepat tiba dikelas. Dengan langkah
sedikit menggontai, menelusuri lorong lorong kelas 12, tampak sepi. Aku tetap
tak peduli. Ku lanjutkan langkahku, namun kakiku membeku melihat sesuatu.
Deg
Jantungku kini jantungan. Karena sosok
yang ada didepanku, ya aku mengenalnya, sangat
mengenalnya. Dia itu lelaki yang beberapa bulan ini selalu kupuja.
Lelaki yang berhasil mengetuk pintu hatiku itu merupakan sosok yang sangat
membuatku kagum padanya. Mataku dan matanya saling bertemu, entah mengapa
tatapannya langsung saja meluluhkan hati ini. Otak yang sejak tadi tak
terkontrol langsung tenang dibuatnya. Sejak awal aku memang terpesona oleh
matanya, yang tidak sipit dan juga tidak terlalu bulat, pas. Wajahnya yang berseri
menandakan karakter yang lembut. Sungguh, dialah makhluk tuhan paling sempurna.
Lelaki yang sangat ku puja, Jonathan.
Hening, langkah kami terkunci, tak ada
jalan lagi untuk dilalui, memang lorong itu agak sempit. Kami masih saling
bertatapan. Aku agak terkejut dan sedikit salah tingkah namun berusaha tenang
dan santai. Kulepaskan senyum tipis yang memang ciri khasku. Dia tak membalas
senyumanku, dia agak sedikit cuek, dan aku pun sudah terbiasa dengan sifatnya
walau aku dan dia tak saling mengenal. Lalu, ku ayunkan kakiku agak 5 langkah,
dan dengan spontan ku putar badanku kira kira 180º. Aku belum puas melihatnya.
Belum puas. Aku ingin menahannya. Hanya untuk menatapnya. Lebih lama.
bersambung... ke Tatap atau Ucap II
bersambung... ke Tatap atau Ucap II