widget

Sabtu, 05 Januari 2013

Tatap atau Ucap? II



Dengan suntuk, ku bolak balik buku fisika yang sejak tadi kubaca. Aku tak terlalu suka dengan fisika, tapi setidaknya aku harus ambil jurusan IPA di kelas 11 nanti. Entah bagaimana caranya, lebih banyak pasrah yang kulalukan. Pak Bariq, ya itu guru fisika ku, yang selalu sibuk menulis rumus rumus yang sulit dicerna otak. Mana mungkin bisa paham, ia lebih banyak menulis daripada menerangkan. Sungguh putih abu-abu jauh beda dengan putih dongker.
Bel berbunyi, nafas lega terhembuskan, bagai alunan musik klasik yang terdengar ditelingaku. Ku mengajak teman sebangkuku, Citra, tuk makan di kantin. Sungguh, kali ini betul betul lapar yang kurasa. Aroma bakso sudah tercium dari ujung pintu kantin, begitu menggugah selera. Untung saja kini tak begitu ramai seperti biasa, bisa memilih tempat duduk. Kali ini aku duduk dipojokan, agar bakso ini habis dengan sempurna. Mengambil sendok dan garpu lalu bersiap untuk meracik tingkat kepedasan bakso. Ku ambil botol kecap, saus sambal dan cabe rawit. Agak sedikit mengaduk dan ku mencicipinya.
“Woooww.. Racikan ku pas" ucapku dalam hati.
Greekhh…
           Kursi disebelahku ada yang menyeret, pasti ada seseorang yang mau duduk. Aku menoleh. Dan lagi, Jantungku pindah ke paru- paru. Sosok itu ada disampingku, lelaki tadi, yang selalu aku damba secara diam-diam.
          Dia duduk tepat di samping kananku. Entah apa yang kurasakan, begitu kelu lidah ini, yang biasanya cerewet menjadi diam seribu bahasa. Dia disampingku, tapi ku tak berani menyapanya, sungguh, diri ini begitu pengecut, dua malaikat yang ada di kanan kiriku serasa sibuk menyemangatiku, untuk menyapanya.
“Ayo Hana, sapa dong, dia disampingmu tuh”  ucap Citra sedikit membisik.
“Tidak tidak, belum saatnya.” Ujarku mengelak.
“Kapan lagi coba dia disampingmu gini kan Han? Mikir dong”. Dia sedikit menyeletuk.
“Ssstt.. nanti kedengaran”.
          Kami pun melanjutkan makan, aku sedikit terburu-buru. Biasalah, aku selalu mudah salting, tapi terkadang mampu mengendalikannya. Terkadang…
“Mau sampai kapan Han jadi pengagum rahasia? Gak capek apa”.
“Cinta mah gak pernah kenal kata lelah”.
“Ya terus, mau sampai kapan?”
“Apa cinta harus diucapkan?”
“Apa cinta puas hanya dengan menatap? Han. Coba pikir, udah berapa lama kamu nunggu han? lebih tepatnya mengaguminya? ”
“4 bulan ada”
“Tuh kan, udah gak wajar lagi”
“Aku tak peduli cit, mau sampai kapan aku kagum toh aku gak harap untuk dikagumi balik”.
“Takut ya? Gak berani?”
Aku mengabaikan kata-katanya sesaat…
“Oke, aku mulai”. Citra pun tersenyum kepadaku.

          “Hai namaku Hanna. Aku dari kelas X.7. Kamu Jonathan X.4 kan, yakan yakan?” ucapku bersandiwara pada iPhone ku.
          Diam. Aku masih tersangkut di angan-angan tak berwujud. Tantangan Citra tadi sungguh membuatku gila. Manakan bisa aku menyapa langsung orang yang selama ini jauh dari jangkauanku? Manakah bisa seorang yang DIAM-DIAM mengagumi harus mendekati orang yg dikagumi secara instant? Itu mustahil. Aku kehabisan ide untuk mendekatinya. Aku terlalu pesimis.
          Tiba tiba seseorang menepuk bahuku dan membuyarkan lamunanku. Aku terkejut, terdiam sesaat, berfikir, aku lupa aku dimana sekarang. Konsentrasiku error. Sepertinya aku terlalu lama melamun. Kulihat jam, 15.35. Oh ya aku lagi di kelas khusus Olimpiade Matematika. Oh ini soal-soalku dan itu guru pembimbingku duduk dimejanya. Dan itu Citra, duduk didepanku sambil memancarkan senyum yang penuh arti yang tak bisa dimengerti. Lalu, aku baru sadar ada orang disampingku. Orang itu menjulurkan tangan kepadaku. Aku menoleh. Dia  tersenyum dan berkata “Hai, aku Jonathan, kamu?”

                                                  THE END

Multi-Colored Light Pointer