Dengan
suntuk, ku bolak balik buku fisika yang sejak tadi kubaca. Aku tak terlalu suka
dengan fisika, tapi setidaknya aku harus ambil jurusan IPA di kelas 11 nanti.
Entah bagaimana caranya, lebih banyak pasrah yang kulalukan. Pak Bariq, ya itu
guru fisika ku, yang selalu sibuk menulis rumus rumus yang sulit dicerna otak.
Mana mungkin bisa paham, ia lebih banyak menulis daripada menerangkan. Sungguh
putih abu-abu jauh beda dengan putih dongker.
Bel
berbunyi, nafas lega terhembuskan, bagai alunan musik klasik yang terdengar
ditelingaku. Ku mengajak teman sebangkuku, Citra, tuk makan di kantin. Sungguh,
kali ini betul betul lapar yang kurasa. Aroma bakso sudah tercium dari ujung
pintu kantin, begitu menggugah selera. Untung saja kini tak begitu ramai
seperti biasa, bisa memilih tempat duduk. Kali ini aku duduk dipojokan, agar
bakso ini habis dengan sempurna. Mengambil sendok dan garpu lalu bersiap untuk
meracik tingkat kepedasan bakso. Ku ambil botol kecap, saus sambal dan cabe
rawit. Agak sedikit mengaduk dan ku mencicipinya.
“Woooww..
Racikan ku pas" ucapku dalam hati.
Greekhh…
Kursi disebelahku ada yang menyeret, pasti ada
seseorang yang mau duduk. Aku menoleh. Dan lagi, Jantungku pindah ke paru-
paru. Sosok itu ada disampingku, lelaki tadi, yang selalu aku damba secara
diam-diam.
Dia duduk tepat di samping kananku.
Entah apa yang kurasakan, begitu kelu lidah ini, yang biasanya cerewet menjadi
diam seribu bahasa. Dia disampingku, tapi ku tak berani menyapanya, sungguh,
diri ini begitu pengecut, dua malaikat yang ada di kanan kiriku serasa sibuk
menyemangatiku, untuk menyapanya.
“Ayo
Hana, sapa dong, dia disampingmu tuh” ucap Citra sedikit membisik.
“Tidak
tidak, belum saatnya.” Ujarku mengelak.
“Kapan
lagi coba dia disampingmu gini kan Han? Mikir dong”. Dia sedikit menyeletuk.
“Ssstt..
nanti kedengaran”.
Kami pun melanjutkan makan, aku
sedikit terburu-buru. Biasalah, aku selalu mudah salting, tapi terkadang mampu
mengendalikannya. Terkadang…
“Mau
sampai kapan Han jadi pengagum rahasia? Gak capek apa”.
“Cinta
mah gak pernah kenal kata lelah”.
“Ya
terus, mau sampai kapan?”
“Apa
cinta harus diucapkan?”
“Apa
cinta puas hanya dengan menatap? Han. Coba pikir, udah berapa lama kamu nunggu
han? lebih tepatnya mengaguminya? ”
“4
bulan ada”
“Tuh
kan, udah gak wajar lagi”
“Aku
tak peduli cit, mau sampai kapan aku kagum toh aku gak harap untuk dikagumi
balik”.
“Takut
ya? Gak berani?”
Aku
mengabaikan kata-katanya sesaat…
“Oke, aku mulai”. Citra pun tersenyum kepadaku.
“Hai namaku Hanna. Aku dari kelas X.7.
Kamu Jonathan X.4 kan, yakan yakan?” ucapku bersandiwara pada iPhone ku.
Diam. Aku masih tersangkut di
angan-angan tak berwujud. Tantangan Citra tadi sungguh membuatku gila. Manakan
bisa aku menyapa langsung orang yang selama ini jauh dari jangkauanku? Manakah
bisa seorang yang DIAM-DIAM mengagumi harus mendekati orang yg dikagumi secara
instant? Itu mustahil. Aku kehabisan ide untuk mendekatinya. Aku terlalu
pesimis.
Tiba tiba seseorang menepuk bahuku dan
membuyarkan lamunanku. Aku terkejut, terdiam sesaat, berfikir, aku lupa aku
dimana sekarang. Konsentrasiku error. Sepertinya aku terlalu lama melamun.
Kulihat jam, 15.35. Oh ya aku lagi di kelas khusus Olimpiade Matematika. Oh ini
soal-soalku dan itu guru pembimbingku duduk dimejanya. Dan itu Citra, duduk
didepanku sambil memancarkan senyum yang penuh arti yang tak bisa dimengerti.
Lalu, aku baru sadar ada orang disampingku. Orang itu menjulurkan tangan
kepadaku. Aku menoleh. Dia tersenyum dan
berkata “Hai, aku Jonathan, kamu?”
THE END
THE END